
Kraton Surakarta Hadiningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Kraton Surakarta, memiliki peran penting dalam sejarah panjang budaya Jawa. Berdiri pada tahun 1745, kraton ini merupakan penerus dari Kesultanan Mataram yang terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti pada 1755. Sejarahnya mencerminkan dinamika politik, budaya, dan kehidupan masyarakat Jawa.
Awal Berdirinya Kraton Surakarta
Kraton Surakarta didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II. Sebelumnya, pusat pemerintahan berada di Kartasura. Namun, pada 1742 terjadi pemberontakan besar yang dikenal sebagai Geger Pecinan, yang menyebabkan kehancuran Kartasura. Setelah pemberontakan itu, Susuhunan Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi baru, yakni Desa Sala, yang kemudian berkembang menjadi Surakarta.
Proses pembangunan kraton dimulai pada tahun 1743 dan selesai pada 1745. Lokasi baru ini dipilih karena dianggap strategis, berada di tepi Sungai Bengawan Solo yang memudahkan transportasi dan komunikasi. Selain itu, letaknya yang lebih aman dari ancaman luar menjadi alasan kuat dalam pemindahan ini.
Pembagian Kekuasaan Mataram
Perjanjian Giyanti tahun 1755 menjadi momen penting dalam sejarah Kraton Surakarta. Kesultanan Mataram yang semula satu kesatuan terpecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwono III. Pembagian ini didorong oleh campur tangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang berusaha mengontrol wilayah Jawa melalui politik adu domba.
Kraton Surakarta kemudian menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan bagi wilayah Kasunanan Surakarta. Meskipun kekuasaannya terbatas karena pengaruh VOC, kraton tetap mempertahankan tradisi dan adat istiadat Jawa sebagai warisan budaya yang tak ternilai.
Struktur dan Arsitektur Kraton Surakarta
Kraton Surakarta memiliki struktur arsitektur yang kaya akan filosofi Jawa. Kompleks kraton terbagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu:
- Siti Hinggil: Tempat ini digunakan untuk upacara resmi kerajaan. Lokasinya lebih tinggi dari area lain sebagai simbol kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
- Pagelaran: Area ini digunakan untuk acara besar seperti pertemuan, perayaan, atau pertunjukan seni.
- Kemandungan: Wilayah ini merupakan gerbang utama sebelum masuk ke bagian dalam kraton.
- Kedhaton: Bagian paling inti dari kraton, tempat tinggal raja dan keluarganya.
- Kamandungan Lor dan Kidul: Tempat persiapan sebelum memasuki kedhaton, juga digunakan untuk berbagai keperluan administratif.
Setiap elemen arsitektur kraton mencerminkan nilai-nilai filosofi Jawa, seperti harmoni antara manusia dan alam, serta hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Ornamen-ornamen yang menghiasi bangunan pun sarat makna, menggabungkan seni ukir khas Jawa dengan elemen budaya Hindu-Buddha dan Islam.
Peran Kraton Surakarta Dalam Budaya Jawa
Kraton Surakarta bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat kebudayaan Jawa. Di sini, tradisi dan seni Jawa terus dilestarikan melalui berbagai upacara adat, tari-tarian, gamelan, dan sastra. Beberapa tradisi yang terkenal antara lain:
- Sekaten: Perayaan tradisional yang diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus mempromosikan seni dan budaya Jawa.
- Grebeg: Upacara yang diselenggarakan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Maulid Nabi.
- Wayang Wong: Pertunjukan teater tradisional yang mengangkat kisah Ramayana dan Mahabharata.
Seni tari dan musik gamelan yang berkembang di Kraton Surakarta menjadi salah satu bentuk warisan budaya yang diakui dunia. Hingga saat ini, kraton tetap menjadi pusat pelestarian seni tersebut, dengan mengadakan pelatihan bagi generasi muda.
Masa Kolonial dan Pengaruh VOC
Pada masa kolonial Belanda, Kraton Surakarta kehilangan sebagian besar kekuasaannya. Peran raja lebih banyak sebagai simbol budaya daripada pemimpin politik. VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda mengontrol hampir seluruh aspek pemerintahan di Jawa.
Meski demikian, kraton tetap menjadi penjaga identitas budaya Jawa. Pengaruh kolonial tercermin dalam beberapa elemen arsitektur dan sistem birokrasi, namun adat istiadat Jawa tetap dijaga dengan ketat. Hal ini menunjukkan ketangguhan budaya lokal di tengah tekanan penjajahan.
Kraton Surakarta di Era Modern
Memasuki era modern, Kraton Surakarta terus bertransformasi menjadi pusat budaya dan pariwisata. Meskipun tidak lagi memegang kendali politik, peran kraton sebagai penjaga tradisi tetap relevan. Hingga kini, kraton sering menjadi tempat diselenggarakannya berbagai acara budaya, seperti festival seni, seminar, dan pameran.
Kraton Surakarta juga menjadi destinasi edukasi bagi masyarakat yang ingin mempelajari sejarah dan budaya Jawa. Dengan adanya museum di dalam kompleks kraton, pengunjung dapat melihat koleksi benda-benda bersejarah seperti keris, pakaian tradisional, hingga dokumen-dokumen penting.
Nilai Historis dan Budaya
Kraton Surakarta bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol keberlanjutan budaya Jawa. Sejarahnya mencerminkan perjuangan dan adaptasi masyarakat Jawa di berbagai zaman. Dari masa kerajaan, kolonial, hingga era modern, kraton tetap menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang penuh dinamika.
Sebagai warisan budaya, Kraton Surakarta memberikan pelajaran tentang pentingnya menjaga tradisi di tengah perubahan zaman. Dengan tetap menghormati nilai-nilai leluhur, kraton berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu pilar kebudayaan Jawa yang tak tergantikan.